Rabu, 04 Februari 2009

Syeh Maulana malik Ibrahim Sunan Gresik

Maulana Malik Ibrahim yang makamnya terdapat di Gresik, selain disebut sebagai Sunan Gresik, juga sering disebut-sebut sebagai walisanga yang pertama, yang tampaknya hanyalah didasarkan kepada tahun kewafatan yang tertulis pada nisannya, yakni 822 Hijriah, yang berarti 1419 Masehi. Dibandingkan dengan Sunan Ngampel Denta yang dianggap sebagai perintis dan pelopor, dan tahun kewafatannya diduga sekitar tahun 1467, kiranya data semacam ini mengundang sebutan bahwa Malik Ibrahim adalah wali yang pertama di antara para walisanga.

Meski hanya dugaan, legenda akan tetap beredar demi pengukuhan. Di antara banyak legenda, kita periksa saja yang ditemukan oleh Husein Djajadiningrat dalam disertasinya Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten (1913).

Sebetulnya yang diteliti oleh Djajadiningrat adalah tentang sifat-sifat penulisan sejarah Jawa, dengan Sajarah Banten sebagai kasusnya, tempat antara lain terdapatnya kisah-kisah walisanga, termasuk juga tentang Maulana (Djajadiningrat mengeja Molana) Malik Ibrahim yang jelas disebutnya sebagai dongeng. Disebutkan dalam Sajarah Banten bahwa Malik Ibrahim adalah penyebar Islam tertua, yang kisahnya berjalin dengan kisah "saudara sepupu"- nya, Putri Suwari yang juga disebut sebagai Putri Leran.

Konon Molana Ibrahim ulama sohor dari Arab, keturunan Zeinulabidin, cicit Nabi Muhammad, menetap dengan sesama orang beriman lainnya di Leran. Lantas datang saudara sepupu lain, raja Cermen dari tanah seberang, yang bermaksud mengislamkan Angkawijaya raja Majapahit - jika berhasil, bahkan ia berniat menghadiahkan putrinya menjadi istri raja Majapahit.

Ringkas cerita, bersualah kedua raja ini di perbatasan, raja Cermen yang diiringi 40 wali mem-persembahkan sebuah delima, diterima tidaknya menjadi ukuran apakah raja itu akan masuk Islam. Disebut betapa raja Majapahit merasa heran, mengapa seorang raja dari seberang mempersembahkan buah delima, seolah-olah buah semacam itu tak ada di Jawa.

Mengetahui yang dipikirkan raja Majapahit, raja Cermen pamit untuk kembali ke Leran, hanya Molana Magfur, putera Malik Ibrahim, tinggal di Majapahit. Ketika buah dibelah, di dalamnya terdapat permata, maka segeralah raja meminta agar Molana Magfur menyusul raja Cermen agar balik ke Majapahit. Raja Cermen ternyata menolak. Ketika sampai di Leran berjangkit penyakit yang membunuh banyak orang. Tiga dari lima orang saudara sepupu yang bersamanya datang dari seberang, Jafar, Sayid Kasim, dan Sayid Ghart tewas pula karenanya - makam mereka terkenal dengan nama kuburan panjang. Tak ketinggalan sakit pula Putri Leran, putrinya, yang berencana ia nikahkan dengan raja Majapahit. Adapun doanya kepada Tuhan adalah, mohon kesembuhan putrinya agar bisa dinikahkan, tetapi kalau raja Majapahit tak bisa masuk Islam mohon agar usia putrinya dipendekkan saja - dan itulah yang terjadi.

Ternyata Angkawijaya menyusul ke Leran, dan ketika mendengar kematian ketiga "pangeran" ia disebutkan menilai rendah kepercayaan raja Cermen, karena tidak bisa menghalangi kematian para pangeran yang masih muda. Sampai di sini Malik Ibrahim berperan lagi, dengan memberi jawaban bahwa ketidakpahaman raja yang seperti itu tentunya diakibatkan penyembahan kepada dewa-dewa, dan bukan kepada Tuhan yang hakiki. Dikisahkan betapa Angkawijaya menjadi murka dan terpaksa ditenangkan para pengikutnya. Pulanglah ia ke Majapahit dan tidak mau mengingat lagi peristiwa yang terjadi tahun 1313 (tentunya penanggalan Saka, meski hanya dalam dongeng) itu. Disebutkan bahwa Malik Ibrahim kemudian pindah dari Leran ke Gresik, setelah meninggal dimakamkan di gerbang timur kota pelabuhan itu.

Makam dan pembongkaran
Masih ada lagi legenda tentang Malik Ibrahim, tetapi mirip cerita sinetron laga, sehingga bagi pembaca Intisari yang budiman lebih berguna disajikan cerita tadi saja, karena pembongkarannya akan menjelaskan beberapa hal.

Pertama, tentang dihubung-hubungkannya Malik Ibrahim dengan Putri Leran. Cerita ini terbentuk tentu karena terdapatnya kuburan atau makam panjang di Leran, yang tanggalnya lebih tua tiga abad. Dalam penelitian J.P. Moquette, batu nisan Malik Ibrahim berasal dari Cambay di Gujarat, sedangkan Djajadiningrat menyebutkan tentang makam di Leran, bahwa "Batu-batu nisan semacam itu masih tiga abad lagi lamanya dipesan di luar Jawa, yaitu di India." Belum bisa disimpulkan apa pun dari data ini, kecuali pengenalan bahwa untuk setiap pernyataan dalam ilmu sejarah dituntut pendasaran yang kuat. Dalam hal makam panjang di Leran, bisa diikuti misalnya beberapa cuplikan dari uraian ahli epigrafi (ilmu tentang prasasti) Louis-Charles Damais dalam artikel "Epigrafi Islam di Asia Tenggara" (1968) dari buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara (1995):

"Prasasti paling tua yang dikenal di Jawa berasal dari suatu zaman ketika kebanyakan orang-orang Muslim di pulau itu berasal dari luar; kemungkinan besar mereka adalah pedagang, entah mereka menetap atau hanya singgah, walaupun kemungkinan yang kedua itu jelas lebih besar. Yang dimaksud di sini ialah nisan seorang gadis di kuburan Leran, beberapa kilometer dari Gresik di Jawa Timur, sebelah barat laut pelabuhan besar Surabaya (ucapan Jawanya adalah Suroboyo).

"Oleh karena kami di sini tidak mungkin dapat memerinci dan membahas hasil bacaan Moquette yang telah berjasa sebagai orang pertama yang menafsirkan prasasti itu, ataupun hasil pembacaan Ravaisse yang telah mengadakan beberapa perubahan, cukuplah kami kemukakan bahwa almarhumah bernama binti Maymun, sebagaimana cukup terbukti. Tanggalnya Jumat 7 Radjab 475 tahun Hijriah, atau 2 Desember 1082 M, artinya keesokan hari padanan teoretis menurut Tabel-tabel. Tanggal ini telah menimbulkan perdebatan, oleh karena 70 dan 90 mudah dikacaukan dalam tulisan Arab yang tidak ada tanda diakritiknya dan oleh karena epitaf itu mengandung kesalahan; yang tertulis sesungguhnya ialah ....., jadi harus dibetulkan. Akan tetapi hari pekan yang tercantum itu beserta kemungkinan paleografinya menurut kami merupakan kunci masalah itu, dan padanannya dengan tarikh Julius bagi kami tidak meragukan lagi, seperti telah kami uraikan sebabnya dalam tulisan lain.

"Tidak diketahui siapa gerangan gadis itu. Menurut dongeng setempat, ia adalah seorang putri raja, yaitu Putri Dewi Suwari atau Putri Leran. Unsur ini sudah tentu tidak tepat, karena sengkalan-sengkalan (kalimat yang menunjuk tahun - Red) yang bersangkutan dengan gadis itu menunjuk angka-angka tahun yang kira-kira tiga abad lebih muda, sedangkan prasasti itu sekurang-kurangnya jelas mengenai angka abad dalam tahun Hijriah. Sebuah dongeng dalam teks yang disebut oleh Knebel pada tahun 1906 dan yang ketika itu milik juru kunci makam itu, mengemukakan umpamanya sebuah sengkalan yang diartikan sama dengan 1308 Saka = 1386 (-87) M. Sebuah sengkalan lain sama dengan 1313 Saka = 1391 (-92) M. Lagipula, seandainya binti Maymun itu seorang putri raja, derajatnya pasti tertera pada nisannya, sedangkan di sini tidak. Jadi, sudah boleh dianggap pasti bahwa pada waktu itu yang bersangkutan adalah anak orang asing yang menetap untuk sementara waktu, tetapi yang tidak kita ketahui apa-apanya." Intisari sendiri juga belum memeriksa, bagaimana diketahui bahwa yang disebut sebagai gadis itu bukannya nenek-nenek.

Kedua, dan dengan begitu, layak diperiksa pula fakta mengenai Maulana Malik Ibrahim itu sendiri, apakah sesuai dengan dongengnya, masih memanfaatkan penelitian Louis-Charles Damais yang diterbitkan dua tahun setelah pria Prancis yang menikah dengan perempuan Indonesia itu meninggal pada 1966:

"Yang dikemukakan sekarang ialah prasasti lain, dari daerah yang sama, dari masa tiga abad sesudah prasasti binti Maymun, sebab tanggalnya Senin 12 Rabi al-awwal 822 H = 10 April 1419 M (dua hari sesudah padanannya yang teoretis). Prasasti itu terdapat di sebuah kuburan di Gresik yang bernama Gapura Wetan. Menurut suatu tradisi setempat, makam itu makam salah seorang tokoh yang dianggap termasuk penyebar agama Islam yang pertama di Jawa, yang sering dinamakan Wali Sanga. Bahwasanya dia termasuk salah seorang penyebar utama agama Islam, agaknya patut diragukan, mengingat bahwa penyebaran agama itu di Jawa Timur telah berlangsung jauh lebih awal, akan tetapi sudah tentu tidaklah mustahil bahwa tokoh itu, jika memang berwibawa, telah dapat mengajak orang masuk agama Islam, sehingga hal itu masih dikenang orang. Dia juga dianggap keturunan Nabi yang datang dari Tanah Arab. Dan salah satu namanya menurut dongeng, yang malah menganggapnya sebagai seorang paman Dewi Putri Suwari, adalah Mawlana Maghribi, "Guru dari Barat". Tetapi hal itu tidak tertulis pada nisannya. Prasasti berbahasa Arab itu, yang keadaannya masih baik sekali, tidak menyebutkan asal-usulnya, tetapi kita dapat membaca namanya dengan jelas, yaitu Malik Ibrahim, sebuah nama yang juga masih bertahan dalam tradisi setempat."

Islamisasi: faktor Gresik
Dengan begitu menjadi jelas perbedaan teks, antara yang mengemukakan fakta dengan yang berimajinasi, bahwa antara Malik Ibrahim dan Maymun (Djajadiningrat menyebutnya Fatimah binti Maimun, tapi ia mengacu epigraf M. van Berchem yang mengikuti petunjuk Snouck Hurgronje, dosen pembimbingnya yang tersohor) ternyata tak ada hubungannya sama sekali, meskipun fakta keduanya terhubungkan dalam konteks spekulasi lain, bahwa Gresik atau tepatnya Garesik yang bentuk krama-nya dalam prasasti dan naskah ditulis sebagai Tandes, adalah kota pelabuhan yang menjadi jalan masuk agama Islam di Jawa.

Kalau kita ikuti kembali hasil penelitian Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), terbaca laporan dari berita-berita kuno yang tersusun sebagai berikut:

"Menurut berita-berita Cina, Gresik didirikan sebagai kota pelabuhan pada paruh kedua abad ke-14 di sebidang tanah pantai yang terlantar. Penduduk pertama ialah pelaut dan pedagang Cina. Pada abad ke-15 perkampungan baru itu mungkin telah menjadi makmur; pada tahun 1411 seorang penguasa Cina di situ telah mengirim utusan yang membawa surat-surat dan upeti ke keraton Kaisar di Cina. Pada tahun 1387 M. Gresik sudah dikenal sebagai wilayah kekuasaan maharaja Majapahit. Ini terbukti dari Piagam Karang Bogem, yang berisi ketetapan tentang kawula, budak, atau orang tebusan di keraton yang berasal dari Gresik.

"Mungkin maharaja Majapahit yang bersemayam di pedalaman Jawa Timur beranggapan bahwa daerah-daerah pantai juga termasuk wilayahnya dan di situ kekuasaannya sebagai penguasa wilayah juga diakui. Hubungan antara raja pribumi dan pedagang asing yang menetap di negara mereka yang ingin mempertahankan hubungan mereka dengan tanah leluhurnya, lebih-lebih dari sudut kepentingan perdagangan, dapat diduga dengan adanya berita-berita tentang perutusan dari seberang lautan ke Cina. Seperti yang diberitakan pada permulaan abad ke-15 sehubungan dengan Gresik, perutusan yang menghadap kaisar Tiongkok (biasanya orang Cina peranakan), mengambil peranan yang penting."

Dengan membandingkan angka-angka tahun, kita bisa meraba konteks keberadaan Malik Ibrahim, yang oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia (1990), disebutkan, "... mungkin sekali pedagang dari Gujarat." Namun dengan pertimbangan angka tahun itu pula, kelompok makam panjang di Leran kehilangan konteks yang penting dalam pembahasan tentang penyebaran Islam di Jawa.

Menjadi misterius memang apa yang sebetulnya terjadi sehingga orang-orang ini bermakam panjang pada abad ke-11 di Leran. Memang diyakini mereka Muslim, kemungkinan pedagang asing yang singgah, dan tidak dipertimbangkan sama sekali sebagai penyebar Islam, meski kuburan mereka adalah yang tertua. Dalam bahasa Damais pun, "Di sini tidak ikut kami perhitungkan makam di Leran, yang dilihat dari segala segi merupakan kelompok tersendiri." Pertanyaannya, ketika Majapahit masih berkuasa penuh, apakah itu berarti Islam hanya beredar di pesisir seperti Gresik, itu pun di antara para pedagang asing?

Kuburan Matahari
Louis-Charles Damais memeriksa setidaknya 36 berkas laporan, oleh para peneliti maupun pejabat pemerintah Hindia Belanda, untuk akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa para ahli kepurbakalaan Belanda telah melewatkan fakta penting di depan hidung mereka, betapa pada puncak kejayaan Majapahit, yakni masa pemerintahan Hayam Wuruk, sebagian anggota keluarga kerajaan telah memeluk agama Islam, seperti dibuktikannya melalui pembahasan epigrafis tujuh makam di Tralaya.

Melalui berkas "Makam Islam di Tralaya" (1955), kita bisa mengikuti penelusuran Damais atas berbagai data menyangkut tujuh makam yang dituliskannya," ... disebutkan pertama kali 75 tahun lalu; meskipun demikian nilai purbakala dan sejarahnya selalu diabaikan."

Secara ringkas, yang terutama diabaikan adalah fakta terdapatnya tulisan Arab pada nisan-nisan tersebut, karena selalu dianggap sebagai tambahan baru pada nisan lama yang berangka tahun Saka. Dengan sangat rumit, bahkan disebut seperti perhitungan matematis, Damais akhirnya bisa membuktikan bahwa pada kelompok makam yang oleh penduduk disebut Kuburan Srengenge tempat dimakamkannya Pangeran Surya, boleh diyakini terdapatnya para anggota kerajaan Majapahit yang telah memeluk Islam, dan dimakamkan masing-masing tahun 1376, 1380, 1418, 1407, 1427, 1467, 1475, 1467, 1469, dan yang agak meloncat, yakni 1611.

Mengapa data angka kematian lebih dari tujuh? Karena Damais berhasil juga menemukan tumpang tindihnya nisan-nisan tersebut, bahwa yang sepertinya di tempat kaki ternyata untuk kepala juga misalnya, sehingga ia berpendapat sebetulnya terdapat sepuluh makam di sana. Perhatikan pula bahwa angka tahun yang tertua hanya sebelas tahun lebih muda dari Nagarakrtagama yang ditulis Prapanca.

Sayang sekali tidak cukup ruang untuk menceritakan kembali bagaimana mengagumkannya Damais menguak misteri, bahkan ketika sebagian nisan berprasasti itu disebutnya sudah hilang, sehingga ia menafsir hanya dari yang tersisa maupun dari foto-foto yang diambil para peneliti dan petugas dinas purbakala Hindia Belanda, yang telah mencatat terdapatnya kuburan tersebut se-jak abad ke-19. Dengan meneliti ke-36 berkas ilmiah maupun laporan dinas atas kelompok makam tersebut, Damais menemukan misalnya dalam konteks makam ke-9, "Kami tidak melihat nisan itu disebutkan di mana pun, sebab para ilmuwan, yang telah meneliti situs Tralaya, tidak pernah menunjukkan minat sedikit pun pada prasasti Arab. Padahal teks pendek itu sangat penting karena menunjukkan bahwa di samping angka tahun berangka Jawa kuno, sekurang-kurangnya ada satu yang bertahun Hijriah dan berasal dari periode yang sama."

Bahwa kuburan itu kuburan bangsawan Majapahit, tertandai dari apa yang disebut medalion yang dilingkari "kalangan bersinar dari Majapahit". Suatu tanda yang rupanya telah mengarahkan penyebutan Kuburan Srengenge (Matahari) atau Pangeran Surya itu. Juga dari lokasinya yang begitu dekat dengan pusat pemerintahan di Trowulan. Menarik sekali analisis Damais atas kesalahan tulis kalimah syahadat pada salah satu nisan itu, yang terarah kepada tukang pahatnya, bahwa mungkin saja pengetahuannya sangat kurang atau nihil, mampu mengucapkan syahadat tapi tidak mengetahui aturan ejaan bahasa Arab, dan mungkin pula salah menafsirkan tanda dari sebuah contoh model bahasa Arab tertulis.

Terutama sekali Damais mengoreksi kesalahan teknis maupun keluputan tafsir para ilmuwan pendahulunya, yang tampak sulit melepaskan diri dari stigma bahwa kejayaan Majapahit memustahilkan terdapatnya pemeluk Islam dari kalangan penduduk asli. Kesimpulan Damais memang sebaliknya, "Secara pribadi kami tidak dapat berbuat lain kecuali menganggap angka tahun pada nisan-nisan Tralaya sebagai bukti keberadaan orang Islam, yang mungkin sekali berbangsa Jawa, di ibu kota Majapahit, sejak tahun-tahun akhir abad ke-13 Saka. Jadi, pada hemat kami tidak dapat dikatakan, seperti halnya Krom, bahwa situs itu 'dilihat dari dirinya sendiri tidak mempunyai arti arkeologis'. Justru sebaliknya, dalam suatu kajian sistematis mengenai makam-makam Islam tertua di Jawa - yang masih harus dilakukan - situs itu tidak pelak lagi akan meng-ambil tempat yang penting."

Dengan demikian, dari ziarah pustaka edisi ini pembaca Intisari terhadapkan bukan saja dengan Malik Ibrahim, yang angka pada nisannya (1419) melahirkan dongeng dirinya sebagai "walisanga pertama"; tetapi juga dengan kelompok makam panjang Leran yang jauh lebih tua (1082) dan diduga sebagai makam orang asing yang sebetulnya hanya singgah; maupun dengan makam Islam di Tralaya yang juga sebagian besar lebih tua (1376/1611) dari zaman Majapahit, yang kali ini diduga kuat adalah makam orang Jawa.

Mengenal Tokoh filosofis Ibnu Rusyd dari nama mabna dima'had

Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad lahir di Kardova pada tahun 1126. Beliau ahli falsafah yang paling agung pernah dilahirkan dalam sejarah Islam.

Pengaruhnya bukan sahaja berkembang luas didunia Islam, tetapi juga di kalangan masyarakat di Eropah. Di Barat, beliau dikenal sebagai Averroes.

Keturunannya terdiri daripada golongan yang berilmu dan ternama. Bapanya dan datuknya merupakan kadi di Kardova. Oleh itu, beliau telah dihantar untuk berguru dengan Ibnu Zuhr yang kemudiannya menjadi rakan karibnya.

Ibnu Rusyd mempelajari ilmu fiqh dan perubatan daripada rakannya yang juga merupakan tokoh perubatan yang terkenal di Sepanyol, Ibnu Zuhr yang pernah bertugas di sebagai doktor istana di Andalusia.

Sebelum meninggal dunia, beliau telah menghasilkan bukunya yang terkenal Al Taysir. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Inggeris dengan judul Faclititation of Treatment.

Selain menjalin perhubungan yang akrab dengan Ibnu Zuhr, Ibnu Rusyd juga mempunyai hubungan yang baik dengan kerajaan Islam Muwahidin. Hubungan ini telah membolehkan Ibnu Rusy dilantik sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169. Dua tahun kemudian, beliau dilantik menjadi hakim di Kardova.

Selepas beberapa waktu menjadi hakim, beliau dilantik sebagai doktor istana pada tahun 1182 berikutan persaraan Ibn Tufail. Ramai yang berasa cemburu dan dengki dengan kedudukan Ibnu Rusyd. Kerana desakan dan tekanan pihak tertentu yang menganggapnya sebagai mulhid, beliau dibuang ke daerah Alaisano.

Setelah selesai menjalani tempoh pembuangannya, beliau pulang semula Kardova. Kehadirannya di Kardova bukan sahaja tidak diterima, tetapi beliau telah disisihkan oleh orang ramai serta menerima pelbagai penghinaan daripada masyarakatnya.

Pada lewat penghujung usianya, kedudukan Ibnu Rusyd dipulihkan semula apabila Khalifah Al-Mansor Al-Muwahhidi menyedari kesilapan yang dilakukannya. Namun, segala kurniaan dan penghormatan yang diberikan kepadanya tidak sempat dikecapi kerana beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1198.

Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar kepada kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, perubatan, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahu.

Antara karya besar yang pernah dihasilkan oleh Ibnu Rusyd termasuklah “Kulliyah fit-Thibb” yang mengandungi 16 jilid, mengenai perubatan secara umum, Mabadil Falsafah (Pengantar Ilmu Falsafah), Tafsir Urjuza yang membicarakan perubatan dan tauhid, Taslul, buku mengenai ilmu kalam, Kasyful Adillah, yang mengungkap persoalan falsafah dan agama, Tahafatul Tahafut, ulasannya terhadap buku Imam Al-Ghazali yang berjudul Tahafatul Falaisafah, dan Muwafaqatil Hikmah Wal Syari’a yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan agama.

Siri karya tulisan tersebut menunjukkan betapa penguasaan Ibnu Rusyd dalam pelbagai bidang dan cabang ilmu begitu ketara sekali sehingga usaha untuk menterjemahkan tulisan beliau telah dilakukan ke dalam bahasa lain. Buku “Kulliyah fit-Thibb” telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1255 oleh Bonacosa, orang Yahudi dari Padua.

Kemudian buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul General Rules of Medicine. Hasil pemikiran yang dimuatkan dalam tulisannya, terutamanya dalam bidang falsafah, telah mempengaruhi ahli falsafah Barat. Dua orang ahli falsafah Eropah, iaitu Voltaire dan Rousseau dikatakan bukan sekadar terpengaruh oleh falsafah Ibnu Rusyd, tetapi memperolehi ilham daripada pembacaan karyanya.

Pemikiran Voltaire dan Rousseau telah mencetuskan era Renaissance di Perancis sehingga merobah wajah Eropah keseluruhannya sebagaimana yang ada pada hari ini. Masyarakat Barat sebenarnya terhutang budi kepada Ibnu Rusyd keranapemikirannya, sama ada secara langsung ataupun tidak langsung, telah mencetuskan revolusi di benua Eropah.

Pemikirannya memungkinkan masyarakat di sana keluar daripada zaman kegelapan menuju era kemajuan industri yang pesat. Hospital Les Quinze-Vingt yang juga merupakan hopital pertama di Paris didirikan oleh Raja Louis IX berdasarkan model hospital Sultan Nuruddin di Damsyik yang kaedah perubatannya merupakan hasil daripada idea dan pemikiran Ibnu Rusyd.

Ibnu Rusyd juga telah menulis sebuah buku mengenai muzik yang diberi judul “De Anima Aristoteles” (Commentary on the Aristotle’s De Animo). Hasil karyanya ini membuktikan betapa Ibnu Rusyd begitu terpengaru dan tertarik oleh ilmu logik yang dikemukakan oleh ahli falsafah Yunani, Aristotle.

Pembicaraan falsafah Ibnu Rusyd banyak tertumpu pada persoalan yang berkaitan dengan metafizik, terutamanya ketuhanan. Beliau telah mengemukakan idea yang bernas lagi jelas, dan melakukan pembaharuan semasa membuat huraianya mengenai perkara tersebut.

Pembaharuan ini dapat dilihat juga dalam bidang perubatan apabila Ibnu Rusyd memberi penekanan tentang kepentingan menjaga kesihatan. Beberapa pandangan yang dikemukakan dalam bidang perubatan juga didapati mendahului zamannya. Beliau pernah menyatakan bahawa demam campak hanya akan dialami oleh setiap orang sekali sahaja.

Kehebatannya dalam bidang perubatan tidak berlegar di sekitar perubatan umum, tetapi juga merangkum pembedahan dan fungsi organ di dalam tubuh manusia.

Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Ibnu Rusyd turut menjangkau bidang yang berkaitan dengan kemasyarakatan apabila beliau cuba membuat pembahagian masyarakat itu kepada dua golongan iaitu golongan elit yang terdiri daripada ahli falsafah dan masyarakat awam.

Pembahagian strata sosial ini merupakan asas pengenalan pembahagian masyarakat berdasarkan kelas seperti yang dilakukan oleh ahli falsafah terkemudian, seperti Karl Max dan mereka yang sealiran dengannya.

Apabila melihat keterampilan Ibnu Rusyd dalam pelbagai bidang ini, maka tidak syak lagi beliau merupakan tokoh ilmuwan Islam yang tiada tolok bandingannya. Malahan dalam banyak perkara, pemikiran Ibnu Rusyd jauh lebih besar dan berpengaruh jika dibandingkan dengan ahli falsafah yang pernah hidup sebelum zamannya ataupun selepas kematiannya.

Tambah semangat disini tempatnya

Mari kita hiasi hidup ini dengan kesemangatan dan kepercayaan tinggi akan kesuksesan karena itu segala-galanya dalam hidup E iya teman- teman setelah aku baca buku The magic of thinking big (Berpikir dan berjiwa besar) aku ingin bagi bagi apa yang aku baca nich
  1. Percaya Anda dapat berhasil, maka Anda pun akan benar-benar berhasil.
  2. Keberhasilan seseorang ditentukan oleh besarnya cara berpikir seseorang.
  3. Cara terbaik untuk memperoleh keberhasilan adalah dengan percaya bahwa anda dapat berhasil.
  4. Kesangsian berjalan bersama-sama dengan kegagalan.
  5. Kesangsian adalah kekuatan negatif. Ketika pikiran tidak percaya atau ragu, pikiran tersebut menarik “dalih” untuk menyokong ketidakpercayaan itu.
  6. Keraguan, ketidakpercayaan, keinginan bawah sadar untuk gagal, perasaan tidak benar-benar ingin berhasil, bertanggung jawab atas sebagian besar kegagalan.
  7. Berpikir ragu maka Anda gagal. Berpikir menang maka Anda berhasil.
  8. Kepercayaan diri berhubungan dengan rasa berharga dalam diri manusia.
  9. Setiap orang adalah produk dari pikirannya. Percayalah akan hal-hal yang besar. Luncurkan serangan sukses dengan kepercayaan jujur dan tulus bahwa anda dapat berhasil. Percayalah akan kebesaran dan tumbuhlah dalam kebesaran.
  10. Langkah pertama (dasar) menuju keberhasilan adalah percayalah kepada diri sendiri, percayalah bahwa Anda dapat berhasil.

3 pedoman untuk mendapatkan dan mengokohkan kekuatan kepercayaan.

  1. Berpikir sukses, jangan berpikir gagal.
  2. Ingatkan diri Anda secara teratur bahwa Anda lebih baik dari yang anda kira.Orang sukses hanyalah orang biasa yang telah mengembangkan kepercayaan kepada diri sendiri dan apa yang mereka kerjakan. Jangan pernah mengakui keraguan anda atau mengesankan kepada orang lain bahwa anda bukan orang kelas satu.
  3. Percaya besar. Besar kecilnya keberhasilan anda ditentukan oleh besar kecilnya kepercayaan anda.

Selasa, 03 Februari 2009

hukum hukum poligami

MENDUDUKAN POLIGAMI DALAM ISLAM : TINJAUAN HISTORIS, POLITIS, DAN NORMATIF *

Oleh : KH M Shiddiq al-Jawi**

1. Pengantar

Sejak Aa Gym diberitakan menikah lagi, pro-kontra poligami meledak hebat. Namun penyulutnya sebetulnya bukan Aa Gym, melainkan pemerintah. Sebab pemerintah merespons secara reaksioner terhadap poligami Aa Gym itu dengan merencanakan kebijakan yang kontroversial. Sejumlah peraturan yang mempersulit (baca : melarang) poligami, seperti UU No 1 /1974, PP 10/1983, dan PP 45/1990, akan direvisi. Larangan poligami akan diperluas tidak hanya kepada PNS dan TNI/Polri tapi juga kepada masyarakat luas.

Anehnya, setelah menyulut pro-kontra poligami, pemerintah meminta polemik diakhiri dan meminta masyarakat berpikir "jernih" dan "proporsional" seputar poligami. Lebih aneh lagi adalah reaksi pemerintah yang adhem ayem saja terhadap video zina Yahya Zaini & Maria Eva. Dosa besar yang semestinya dicegah atau dipersulit, malah disikapi secara dingin. Tidak ada rencana merancang atau merevisi aturan yang semakin mempersulit zina, melarang prostitusi, atau memberantas pornografi/pornoaksi. Benar-benar tidak ada. Jadi terhadap yang haram pemerintah diam (baca : setuju), tapi terhadap poligami yang halal, pemerintah bergerak kesetanan dan sok pahlawan sampai-sampai mengatasnamakan "moral obligation" (tanggung jawab moral) dan mengusung slogan palsu "melindungi perempuan."

Pro-kontra poligami pun terus bergulir di masyarakat. Sebagian elemen masyarakat seperti aktivis HTI dan MMI, membela poligami dengan gigih. Elemen lainnya seperti Koalisi Perempuan Anti Poligami dan berbagai LSM liberal (sekuler) mengecam poligami tanpa ampun. Poligami dianggap sesuatu yang teramat menjijikkan, menistakan derajat wanita, rawan penyakit seksual, dan seterusnya. Padahal tak sedikit pengecam poligami ini adalah para intelektual muslim yang terdidik. Tak jarang mulut mereka memuntahkan berbagai-bagai dalil dari al-Qur`an dan As-Sunnah.

Melihat kenyataan tersebut, diperlukan upaya untuk mendudukkan masalah poligami ini dengan perspektif yang komprehensif. Tujuan tulisan ini adalah :

Pertama, menjelaskan sejarah pro-kontra poligami untuk membuat pemetaan (mapping) mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam pro-kontra ini;

Kedua, menjelaskan motif politik di balik rencana pemerintah merevisi sejumlah peraturan perundangan yang mempersulit poligami;

Ketiga, menjelaskan hukum poligami dalam Islam dan membantah pendapat-pendapat yang mengharamkan poligami.

2. Sejarah Pro-Kontra Poligami

Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat). Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya poligami, dan semuanya sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Sebab kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti). Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360 :

"Masalah menikah dengan lebih dari satu isteri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap (syar’un tsabit) dan sunnah/jalan yang diikuti (sunnah muttaba’ah). Dan tidaklah ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun mereka berbeda pendapat pada kebanyakan bab dan masalah fikih. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…"

Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat disimpulkan kalau kita menelaah kitab al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry Juz IV hal. 206-217 (Beirut : Darul Fikr, 1996) yang membahas tentang pembagian nafkah dan bermalam kepada para isteri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).

Dalam kitab Maratib al-Ijma', Ibnu Hazm menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa apabila seorang muslim menikahi maksimal empat orang perempuan sekaligus maka hukumnya halal. (Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma', hal. 62) (Lihat Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press, 2006], hal 41)

Jadi selama kurang lebih 1300 tahun tak ada beda pendapat soal bolehnya poligami ini di kalangan seluruh umat Islam. Barulah pada abad ke-19 M / ke-14 H ketika imperialis Barat yang berideologi sekuler menancapkan kukunya di Dunia Islam, muncul beberapa orang modernis/liberal yang menggugat dan menolak poligami. Mereka itu misalnya Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), Ameer Ali (1849-1928), Muhammad Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), dan Maulana Abul Kalam Azad (1888-1958) (Lihat Maryam Jameelah, Islam and Modernism, Lahore : Muhammad Yusuf Khan and Sons, 1988).

Sayyid Ahmad Khan misalnya, memandang bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, sedangkan poligami merupakan pengecualian. Poligami tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan yang jarang dan harus terbatas pada kondisi pengecualian saja (Busthami M. Said, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin, hal. 141).

Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar (yang ditulis oleh Rasyid Ridha) pada Juz IV hal. 346-363 juga berpendapat senada. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja (Tafsir Al-Manar, Juz 4/350).

Pada gilirannya, pendapat Abduh ini selanjutnya diikuti oleh para pemikir lainnya, baik yang memang modernis/liberal maupun yang sekedar terpengaruh dengan mereka. Mereka itu misalnya Syaikh Al-Bahiy al-Khuli, Syaikh Abdul Muta’al Ash-Shaidiy, dan Abdul Aziz Fahmi (Lihat telaah atas pemikiran tafsir ketiga tokoh ini dalam Fadhl Hasan Abbas, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Hadits, I/114-115).

Selain mereka, sikap Abduh yang anti poligami sedikit banyak juga mempengaruhi Jamaluddin al-Qasimi (Tafsir al-Qasimi/Mahasin al-Ta`wil, V/30), Ahmad Musthafa al-Maraghi (Tafsir al-Maraghi, IV/183), Muhammad Izzat Darwazah (at-Tafsir al-Hadits, IX/11-13), Abdul Karim Khathib (at-Tafsir al-Qur`ani li al-Qur`an, II/697), Dr. Wahbah Zuhaili (Tafsir al-Munir, IV/242), dan Ali Nasuh ath-Thahir (Tafsir Al-Qur`an al-Karim Kama Afhamuhu, I/309). Para "ulama" ini boleh dikatakan idenya masih satu nasab dengan ide Abduh. Abduh-lah yang menjadi inspirator bagi semuanya.

Namun, sebenarnya pendapat mereka yang anti poligami itu, bukanlah asli dari mereka. Mereka hanyalah mengambil alih dari para orientalis atau misionaris Kristen/Katholik. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa poligami adalah sesuatu yang dilarang dalam masyarakat Barat. Dalam kitab Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami karya Dr. Shabir Tha’imah hal. 53 (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984), disebutkan bahwa poligami merupakan salah satu ajaran Islam yang dikecam oleh kaum misionaris.

Dalam kitab lain, al-Tabsyir wa al-Isti’mar fi al-Bilad al-Arabiyah hal. 42-43 (Beirut : Maktabah Arabiyah, 1986) Dr. Musthafa al-Khalidi dan Dr. Umar Umar Farrukh menerangkan, bahwa poligami telah sebagai sasaran hinaan atau kritikan oleh kaum orientalis kafir, seperti W. Wilson Cash, dalam bukunya The Moslem World in Revolution (London : 1926), hal. 98. Orientalis Noel J. Coulson mengatakan, bahwa keadilan di antara isteri mustahil dipenuhi, dan karena itu, poligami dilarang sama sekali (Lihat Noel J. Coulson, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk (Ed.), Islam di Asia Tenggara, [Jakarta : LP3ES, 1990], hal.170).

Ringkasnya, serangan terhadap poligami sebenarnya bukan sesuatu yang baru ada sekarang tapi sudah lama, yakni sejak abad ke-19 M. Kecaman terhadap poligami ini bukanlah dari ulama, tapi aslinya dari kaum orientalis atau misionatis yang kafir, yang kemudian diteruskan oleh kaum modernis seperti Sayyid Ahmad Khan dan kawan-kawannya. Pada gilirannya, pandangan kaum modernis ini diadopsi dan diundangkan sebagai peraturan publik oleh para penguasa sekuler di negeri-negeri Islam.

Jadi di sini telah terjadi tiga tahapan serangan terhadap poligami. Pertama, serangan kaum orientalis atau misionaris. Kedua, selanjutnya –ini amat disayangkan-- serangan para orientalis dan misonaris itu lalu diteruskan oleh para pemikir modernis/liberal seperti Abduh dkk. Ketiga, selanjutnya serangan terhadap poligami yang telah diformalisasikan dalam bentuk peraturan perundangan oleh para penguasa di negeri-negeri Islam. (Mohammad Baharun, Isu Zionisme Internasional, hal. 53; Dr. Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Rahin, hal. 187)

Tentu saja, kaum liberal/modernis itu seakan-akan membela Islam, karena mereka pandai berdalil dengan ayat ini atau hadis itu. Jadi, generasi muda Islam yang polos akan mudah ditipu dengan kepandaian mereka memutar-balikkan pengertian ayat untuk tujuan melarang poligami. Mengomentari kaum modernis yang melarang poligami itu, dengan tegas dan tepat Abul A’la Al-Maududi –rahimahullah— berkata :

"Demikian pula tentang ide larangan poligami, tidak lain ia hanyalah barang asing yang diimpor ke negeri kita dengan alasan palsu yang disandarkan kepada Al-Qur`an." (Abul A’la Al-Maududi, Al-Islam fi Muwajahah Tahaddiyat al-Mu’ashir, hal. 259).

Jelaslah, bahwa penentangan poligami itu hakikatnya bukanlah karena poligami itu suatu perbuatan dosa atau haram dalam agama Islam, melainkan karena poligami itu adalah barang najis yang sangat dibenci oleh masyarakat Barat yang Kristen. Kebencian atas dasar semangat Nashrani inilah yang kemudian merasuki alam pikiran kaum orientalis/misionaris yang kafir, selanjutnya merasuki pula alam pikiran kaum liberal seperti Sayyid Ahmad Khan dan lain-lainnya, dan selanjutnya merasuki pula benak para penguasa negeri-negeri Islam.

Padahal, agama Nashrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak ada satu pun ayat Injil yang secara tegas melarang poligami. Ketika orang-orang Kristen Eropa melaksanakan monogami, tidak lain karena kebanyakan bangsa Eropa itu meneruskan tradisi Yunani dan Romawi yang melarang poligami. Ketika orang-orang Romawi memeluk Nashrani pada abad ke-4 M, mereka tetap meneruskan tradisi nenek moyang mereka yang melarang poligami. Jadi, peraturan monogami sesungguhnya secara normatif bukanlah ajaran agama Nashrani, melainkan peraturan lama yang secara sosiologis sudah berlaku lama sejak orang Yunani dan Romawi menganut agama berhala (paganisme).

Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai norma agama Nashrani, padahal lembaran-lembaran Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami. (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/157; H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, hal. 79-80; Ahmed Deedat, The Choice Dialog Islam-Kristen, hal. 85-88; David C. Pack, The Truth About Polygamy, http://www.thercg.rg)

Inilah sekilas penjelasan sejarah pro-kontra poligami di tubuh umat Islam, termasuk sejarah poligami itu sendiri di Eropa. Siapa saja yang mendalami masalah poligami dari sudut historisnya, akan sampai pada kesimpulan serupa ini.

Kesimpulannya, serangan terhadap poligami adalah bagian dari Perang Pemikiran (al-Ghazwul Fikri) antara imperiais Barat yang Kristen dan berideologi kapitalisme-sekular di satu sisi, dengan kaum muslimin yang meyakini Islam sebagai ideologi di sisi lain.

Sayangnya, Perang Pemikiran itu nampaknya dimenangkan oleh imperialis Barat yang kafir. Buktinya banyak negeri Islam yang melarang atau membatasi poligami. Misalnya, Tunisia (UU Status Pribadi tahun 1957), Maroko (UU Tahun 1958), Irak (UU tahun 1960), Pakistan (Ordonansi Hukum Keluarga Muslim Tahun 1961), Indonesia (UU 1/1974), Mesir (UU Jihan Tahun 1979, tapi dianulir 1985), dan sebagainya. (Lihat Noel J. Coulson, ibid.; Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, [Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005], hal. 140)

Sesungguhnya negeri-negeri ini tidaklah sedang menjalankan agama Islam. Negeri-negeri ini sebenarnya telah bertaqlid buta kepada imperialis Barat yang Kristen, untuk menjalankan ajaran semu Kristen yang anti poligami, dengan justifikasi palsu dari al-Quran dan as-Sunnah yang direkayasa oleh kaum modernis yang menjadi agen-agen Barat. Inilah hakikat yang ada, tidak ada yang lain.

3. Motif Politik Di Balik Larangan Poligami

Berdasarkan tinjauan sejarah di atas, kita akan dapat mengungkap motif hakiki di balik pembatasan atau larangan poligami oleh para penguasa di negeri-negeri Islam, tak terkecuali di negeri ini. Motif ini diungkap dengan gamblang oleh Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360.

Motifnya kata beliau, adalah menata ulang institusi keluarga di negeri Islam mengikuti model institusi keluarga di Eropa, khususnya Eropa pada masa modern setelah mengalami revolusi pemikiran (Enlightenment) abad ke-17 M. (liyu’ida tanzhima al-usrati fi al-mujtama’ al-Islami ‘ala ghirari tanzhimi al-usrati fi al-mujtama’ al-gharbiy). Dengan kata lain, motif sesungguhnya adalah ingin menghancurkan institusi keluarga muslim untuk digantikan dengan model institusi keluarga kaum penjajah yang kafir.

Itulah motif sesungguhnya, walaupun penguasa bermanis kata dan mengumbar propaganda bahwa pembatasan poligami adalah karena adanya "moral obligation" dan karena ingin "melindungi perempuan." Bohong! Omongan semacam ini hanyalah tipu daya agar umat Islam terkecoh dan mau secara ikhlas diatur oleh undang-undang batil yang substansinya adalah tradisi Barat yang kafir yang diberi justifikasi palsu berupa dalil-dalil agama oleh kaum modernis-liberal.

Institusi keluarga Eropa, tentunya bukanlah model ideal bagi institusi keluarga muslim. Keduanya merupakan dua entitas berbeda, karena keduanya mempunyai identitas, norma, dan sejarah yang berbeda dan bahkan bertolak belakang. Institusi keluarga Eropa yang monogami dibentuk oleh ajaran Kristen (Gereja). Perilaku seks bebas seperti perzinahan, homoseksual, lesbianisme, bukanlah dianggap aib di Eropa. Anak-anak zina pun dianggap sebagai kewajaran dalam kehidupan bermasyarakat.

Itu sangat berbeda dengan institusi keluarga muslim. Institusi keluarga muslim menjalankan pernikahan yang syar’i baik monogami maupun poligami berdasarkan ajaran Islam. Perilaku seks bebas seperti perzinahan, homoseksual, lesbianisme, diharamkan dan diberi sanksi yang tegas. Sedang anak-anak zina dianggap aib dalam masyarakat Islam. (Abdurrahim Faris Abu Lu’bah, Syawa`ib al-Tafsir, hal. 360-361).

Dengan diberlakukannya peraturan perundangan yang membatasi poligami, berarti telah dilakukan secara sengaja proses transformasi sosial untuk merombak institusi keluarga yang Islami menjadi institusi keluarga yang mengikuti gaya hidup Barat. Persoalannya, relakah Anda yang muslim dipaksa menjalani gaya hidup Barat yang kafir? Apakah penguasa tidak lagi punya mata, telinga, dan nurani sehingga tidak tahu betapa bejat dan rusaknya masyarakat dan institusi keluarga di Barat? Apakah mereka tidak tahu 75 % anak-anak Inggris adalah anak zina? Apakah mereka tidak tahu sepertiga (31 %) masyarakat Amerika yang sudah berumah tangga melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain? Apakah mereka tidak tahu, mayoritas orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain adalah sah-sah saja dilakukan? Apakah masyarakat dan keluarga bejat seperti ini yang menjadi cita-cita para penguasa sekuler saat ini? (Lihat James Patterson & Peter Kim, The Day American Told the Thruth, New York : Plume Book, 1991).

Jika penguasa negeri Islam menerapkan secara paksa berbagai aturan Barat atas rakyatnya sendiri yang muslim, seperti pembatasan poligami, maka terjadilah apa yang oleh Dr. Shabir Tha’imah disebut "penjajahan modern" (al-isti’mar al-hadits). Istilah ini, kata beliau, muncul di kalangan bangsa-bangsa lemah yang terjajah dalam bentuk baru pasca Perang Dunia II. Penjajahan modern pada hakikatnya adalah dominasi, orientasi, dan eksploitasi melalui anak-anak negeri sendiri, yang dulunya negeri itu di bawah cengkeraman penjajahan, lalu anak-anak negeri sendiri itu bertindak seperti penjajah sebelumnya dengan tangan besi (wa huwa laysa fi haqiqatihi illa as-saytharah wa at-tawjih wa al-istitsmar ‘an thariq abna’ al-balad alladziy kaanat fiihi qabdhah al-isti’mar wa ta’mal amalaha biquwwati al-hadid wa an-nar). (Dr. Shabir Tha’imah, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami, [Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984], hal. 50).

Dengan demikian, kalau umat Islam dulu sebelum Perang Dunia II dijajah secara langsung oleh Barat yang kafir, maka kini pasca Perang Dunia II umat Islam dijajah oleh para penguasanya sendiri yang menjadi kepanjangan tangan dari Barat yang kafir. Itulah hakikat yang terjadi tatkala penguasa menerapkan peraturan dari Barat (seperti pembatasan poligami) atas umat Islam dengan kekuatan dan paksaan. Inilah yang disebut penjajahan modern itu.

4. Hukum Poligami dalam Islam

Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu perbuatan mubah (boleh), bukan sunnah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam hal. 129 :

"Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan demikian."

Dasar kebolehan poligami tersebut karena Allah SWT telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini :

"Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat." (QS an-Nisaa’ [4]: 3)

Imam Suyuthi menjelaskan bahwa pada ayat di atas terdapat dalil, bahwa jumlah isteri yang boleh digabungkan adalah empat saja (fiihi anna al-‘adada alladziy yubahu jam’uhu min al-nisaa’ arba’ faqath) (Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 59).

Sababun nuzul ayat ini, bahwa Urwah bin Zubair RA bertanya kepada ‘Aisyah tentang ayat QS An-Nisaa` : 3 yang lengkapnya berbunyi :

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya." (QS an-Nisaa’ [4]: 3)

Maka ‘Aisyah menjawab,"Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya. Tapi pengasuh itu tidak mau memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini anak-anak yatim itu kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kawin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (terj), VI/136-137).

Namun demikian, kebolehan poligami pada ayat di atas tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim, sebagaimana khayalan kaum liberal yang bodoh. Sebab sebagaimana sudah dipahami dalam ilmu ushul fiqih, yang menjadi pegangan (al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional ayat yang bersifat umum (fankihuu maa thaab lakum mina an-nisaa` dst), bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan anak yatim). Jadi poligami boleh dilakukan baik oleh orang yang mengasuh anak yatim maupun yang tidak mengasuh anak yatim. Kaidah ushul fikih menyebutkan :

Idza warada lafzhul ‘umuum ‘ala sababin khaashin lam yusqith ‘umumahu

"Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah menggugurkan keumumannya." (Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995], Juz II hal. 123)

Beberapa hadits menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW telah mengamalkan bolehnya poligami berdasarkan umumnya ayat tersebut, tanpa memandang apakah kasusnya berkaitan dengan pengasuhan anak yatim atau tidak. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia punya sepuluh isteri,"Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikanlah yang lainnya!" (HR Malik, an-Nasa’i, dan ad-Daruquthni). Diriwayatkan Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,"Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,"Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud). (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/139).

Kebolehan poligami ini tidaklah tepat kalau dikatakan "syaratnya harus adil." Yang benar, adil bukan syarat poligami, melainkan kewajiban dalam berpoligami. Syarat adalah sesuatu sifat atau keadaan yang harus terwujud sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan (masyrut). Wudhu, misalnya, adalah syarat sah shalat. Jadi wudhu harus terwujud dulu sebelum sholat. Maka kalau dikatakan "adil" adalah syarat poligami, berarti "adil" harus terwujud lebih dulu sebelum orang berpoligami. Tentu ini tidak benar. Yang mungkin terwujud sebelum orang berpoligami bukanlah "adil" itu sendiri, tapi "perasaan" seseorang apakah ia akan bisa berlaku adil atau tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil, maka di sinilah syariah mendorong dia untuk menikah dengan satu isteri saja (fa-in khiftum an-laa ta’diluu fa waahidah, "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja) (QS an-Nisaa` : 3).

Adapun keadilan yang merupakan kewajiban dalam poligami sebagaimana dalam QS an-Nisaa` : 3, adalah keadilan dalam nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah tujuannya adalah mencukupi kebutuhan para isteri yaitu mencakup sandang (al-malbas), pangan (al-ma`kal), dan papan (al-maskan). Sedang mabit, tujuannya bukanlah untuk jima’ (bersetubuh) semata, melainkan untuk menemani dan berkasih sayang (al-uns), baik terjadi jima’ atau tidak. Jadi suami dianggap sudah memberikan hak mabit jika ia sudah bermalam di sisi salah seorang isterinya, walaupun tidak terjadi jima’ (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-217).

Yang dimaksud "adil" bukanlah "sama rata" (secara kuantitas) (Arab : al-taswiyah), melainkan memberikan hak sesuai keadaan para isteri masing-masing. Namun kalau suami mau menyamakan secara kuantitas juga boleh, namun ini sunnah, bukan wajib. Isteri pertama dengan tiga anak, misalnya, tentu kadar nafkahnya tidak sama secara kuantitas dengan isteri kedua yang hanya punya satu anak. Dalam hal mabit (bermalam), wajib sama secara kuantitas antar para isteri. Namun isteri yang sedang menghadapi masalah misalnya sedang sakit atau stress, dapat diberi hak mabit lebih banyak daripada isteri yang tidak menghadapi masalah, asalkan isteri lainnya ridha. (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-208; Lihat secara khusus cara berlaku adil terhadap isteri-isteri dalam Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press], 2006).

Adapun "adil" dalam QS an-Nisaa’ : 129 yang mustahil dimiliki suami yang berpoligami, maksudnya bukanlah "adil" dalam hal nafkah dan mabit, melainkan adil dalam "kecenderungan hati" (al-mail al-qalbi). Allah SWT berfirman :

"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS an-Nisaa’ [4] : 129).

Imam Suyuthi menukil pendapat Ibnu Abbas RA, bahwa "adil" yang mustahil ini adalah : rasa cinta dan bersetubuh (al-hubb wa al-jima’) (Lihat Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 83).

Sayyid Sabiq menukilkan riwayat, bahwa Muhammad bin Sirin berkata,"Saya telah mengajukan pertanyaan dalam ayat ini kepada ‘Ubaidah. Jawabnya,’Yaitu dalam cinta dan bersetubuh." (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/143).

Maka tidaklah benar pendapat kaum liberal yang mengharamkan poligami berdasarkan dalil ayat di atas (QS 4 : 129) yang dikaitkan dengan kewajiban adil dalam poligami (QS 4 : 3). Mereka katakan, di satu sisi Allah mewajibkan adil tapi di sisi lain keadilan adalah mustahil. Lalu dari sini mereka menarik kesimpulan bahwa sebenarnya poligami itu dilarang alias haram. Mereka menganggap keadilan pada dua ayat tersebut adalah keadilan yang sama, bukan keadilan yang berbeda. Padahal yang benar adalah, keadilan yang dimaksud QS 4:3 berbeda dengan keadilan yang dimaksud dengan ayat QS 4:129.

Pemahaman kaum liberal tersebut tidak benar, karena implikasinya adalah, dua ayat di atas akan saling bertabrakan (kontradiksi) satu sama lain, di mana yang satu meniadakan yang lain. Padahal Allah SWT telah menyatakan tidak adanya kontradiksi dalam Al-Qur`an. Allah SWT berfirman :

"Kalau sekiranya al-Qur`an itu dari sisi selain Allah, niscaya akan mereka dapati pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS an-Nisaa` [4] : 82).

Mengkritisi Beberapa Penolakan Poligami

Berikut ini bantahan terhadap beberapa penolakan terhadap bolehnya poligami.

1. Katanya Poligami Hanya Boleh Dalam Kondisi Darurat

Ada orang yang menolak poligami dengan ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door" (pintu keluar darurat). Ini tidak benar dan tidak sesuai dengan pengertian darurat dalam fiqih dan ushul fiqih. Darurat menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’, adalah "sampainya seseorang pada suatu batas (kondisi) yang jika dia tidak mengerjakan yang haram, maka dia akan mati atau hampir mati" (wushuuluhu haddan in lam yatanawal al-mamnu’ halaka aw qaaraba). Ini artinya, seorang laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah payah sekali keadaannya, yakni hampir mati kalau tidak berpoligami. Kasihan sekali. Ini tentu menggelikan dan tidak benar.

Pendapat yang membolehkan poligami dalam kondisi darurat berarti menganggap poligami itu hukum asalnya haram (seperti daging babi), dan baru dibolehkan (sebagai hukum rukhshah) jika tak ada jalan keluar selain poligami. Padahal hukum asal poligami bukan haram, tapi mubah. Inilah yang benar.

2. Katanya Nabi Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami

Ada orang yang mengharamkan poligami dengan alasan Rasulullah SAW telah melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami. Suatu saat Ali yang sudah beristerikan Fatimah meminta izin kepada lalu Rasulullah SAW untuk menikah lagi dengan putri Abu Jahal, lalu Rasulullah SAW bersabda : "Tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib rela untuk menceraikan putriku dan menikahi putrinya Abu Jahal. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, menyenangkan aku apa yang menyenangkannya, meyakitiku apa yang menyakitinya."

Jika dilihat sampai disini, seolah-olah Rasulullah SAW mengharamkan poligami. Kaum liberal yang curang biasanya hanya menyampaikan hadits di atas tanpa melihat hadits yang sama dari jalur periwayatan yang lain. Padahal dalam jalur riwayat lain ada pernyataan Nabi SAW yang justru sangat penting kaitannya dengan status hukum poligami. Sabda lalu Rasulullah SAW tersebut : "Sungguh aku tidaklah mengharamkan sesuatu yang halal, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah dalam suatu tempat selama-lamanya" (HR Bukhari)

Sabda Rasul yang terakhir ini dengan jelas menunjukkan bahwa poligami itu adalah halal, bukan haram. Jadi larangan Rasul kepada Ali yang ingin memadu Fatimah dengan putri Abu Jahal bukanlah karena Rasulullah SAW mengharamkan poligami, melainkan karena lalu Rasulullah SAW tidak senang Ali mengumpulkan putri Rasulullah SAW dengan putri musuh Allah di bawah lindungan seorang lelaki. Ini dapat dipahami dari kalimat selanjutnya yaitu "Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam suatu tempat selama-lamanya".

Bahkan Ali sendiri sebenarnya berpoligami, setelah meninggalnya Fathimah. Ibnu Uyainah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai empat isteri dan 19 budak perempuan, setelah wafatnya Fatimah RA (Imam Suyuthi, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, [Beirut : Dar Amwaj, 1989, hal 17]

3. Katanya Poligami Yang Menimbulkan Bahaya (Dharar) Haram

Ada orang yang mencoba menolak poligami berdasarkan survei dari data-data empiris yang menjelaskan berbagai bahaya (dharar) dari poligami, misalnya percekcokan antar isteri, rawan penyakit seksual, dan sebagainya.

Secara metodologis (ushul fiqih), cara berpikir itu salah, sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai satu-satunya alat untuk mengetahui status hukum syara’. Padahal akal tidak dapat secara independen memutuskan halal-haramnya sesuatu hanya bertolak dari fakta-fakta empiris semata. Akal tugasnya adalah memahami teks wahyu, bukan untuk menyimpulkan status hukum secara mandiri terlepas dari teks.

Di sinilah tepat sekali Imam Ghazali mengatakan, "Al-Ahkam as-sam’iyah laa tudraku bi al-‘aql," (Hukum-hukum syar’i tidaklah dapat dijangkau dengan akal semata) (Imam Ghazali, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul, Juz I hal. 127).

Ada pula yang menggunakan data-data tersebut untuk menolak poligami, dengan ditambah argumen berupa kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak kerusakan, lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan). Jadi, pendapat itu menyatakan poligami harus dilarang, karena melarang poligami artinya adalah menolak kerusakan, yang harus didahulukan daripada mencari kemaslahatan, yaitu melakukan poligami).

Pendapat itu batil. Sebab pengamalan kaidah fiqih itu dapat dikatakan sebagai ijtihad. Padahal ijtihad tidak berlaku jika ada nash yang qath’i (pasti) dalam suatu masalah. Kaidah fikih menyebutkan laa ijtihaada fi maurid al-nash (Tidak boleh melakukan ijtihad pada saat ada nash yang qath’i). Dalam hal ini telah ada nash yang qath’i yaitu QS 4:3 yang membolehkan poligami. Jika ada nash yang qath’i, tidak boleh lagi berijtihad pada nash yang qath’i itu, apalagi sampai hasil ijtihadnya membatalkan hukum dalam nash qath'i itu..

Tindakan yang benar seharusnya bukan melarang poligami, melainkan meluruskan penyimpangan dalam berpoligami, atau menghilangkan bahaya yang muncul dalam berpoligami. Kaidah fiqih menyebutkan adh-dharaar yuzaalu syar’an (Segala bahaya wajib secara syar’i untuk dihilangkan). Jadi, kalau dalam berpoligami seorang suami berbuat zalim, misalnya tidak adil dalam nafkah, atau suka memukul isteri, maka yang dilakukan bukan membubarkan poligami, melainkan mengadukan masalah tersebut kepada hakim (peradilan Islam). Hakim dapat memberikan sanksi syar’i (ta’zir) kepada suami dan mewajibkan suami agar memenuhi hak-hak isteri. Ibaratnya, kalau mobil kita rusak, misalnya AC rusak atau ban bocor, solusinya bukanlah membuang mobil itu. Tapi bawalah mobil itu ke bengkel dan perbaikilah. Inilah yang haq.

5. Penutup

Sesungguhnya hukum Allah dalam masalah poligami sudah sangat jelas dan tidak perlu kita terlalu bertele-tele untuk menerangkan kebolehannya. Yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula.

Namun bagaimana pun juga, kita harus sadar bahwa akan selalu ada sebagian umat Islam yang bertaqlid buta dan membebek kepada kaum kafir. Ketika kaum kafir menolak poligami dan membolehkan zina, akan selalu ada di antara umat Islam ini yang mengikuti jalan hidup sesat tersebut. Jadi, tidak usah terlalu heran. Mereka memang ada.

Mereka itu saat ini adalah kelompok liberal (sekuler) yang mengabdikan dirinya secara tulus kepada kaum penjajah yang kafir. Mereka inilah yang harus selalu kita waspadai agar umat terlindung dari tipu daya mereka yang sangat keji, karena mereka mempropagandakan paham kufur dengan dalil-dalil agama yang dimanipulasi untuk kepentingan penjajah. Kejahatan kaum liberal ini wajib kita hentikan dan kita hancurkan.

Marilah kita renungkan dengan seksama sabda Rasulullah SAW :

"Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan (hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkjal, sehasta demi sehasta, hingga kalau pun mereka masuk ke lubang biak, kamu akan mengikuti mereka. Kami [para sahabat] berkata,’Wahai Rasulullah, [apakah mereka itu] orang Yahudi dan Nashrani?’ Rasuluyllah menjawab,"Lalu siapa [kalau bukan mereka]?" (HR Bukhari dan Muslim). [ ]

= = = = = = =

*Makalah disampaikan dalam Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK), kerjasama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Taklim Wisma Dharmala Sakti (WDS), Khilafah Center, Tabloid Suara Islam, Forum Umat Islam dan YPI Al Azhar, Tema "Poligami Ditentang, Poligami Dibutuhkan ", diselenggarakan pada Senin, 18 Desember 2006, di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Lama - Jakarta Selatan.

**Ketua Lajnah Tsaqofiyah HTI DIY; Dosen STEI Hamfara Yogyakarta; Pengasuh Ma’had Taqiyuddin an-Nabhani Yogya; dan Pengelola Situs www.khilafah1924.org

DAFTAR PUSTAKA

Abu Lu'bah, Abdurrahim Faris, Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri,(Disertasi Doktor), Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah Kulliyah Asy-Syariah li Dar al-Fatwa Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005

Alhamdani, H.S.A, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam

Al-Jaziry, Abdurrhaman, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut : Darul Fikr), 1996

Al-Khalidi, Musthafa & Farrukh, Umar, al-Tabsyir wa al-Isti’mar fi al-Bilad al-Arabiyah, (Beirut : al-Maktabah al-'Arabiyah), 1986

Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdus Salam, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Rahin,(Beirut : Darul Bayariq), 1992

Amal, Taufik Adnan & Panggabean, Samsu Rizal, Politik Syariat Islam, (Jakarta : Pustaka Alvabet), 2005

As-Sanan, Ariij Binti Abdurrahman, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), (Jakarta : Darus Sunnah Press), 2006

Baharun, Mohammad, Isu Zionisme Internasional

Deedat, Ahmed, The Choice Dialog Islam-Kristen

Ghazali, Imam, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul

Jameelah, Maryam, Islam and Modernism, (Lahore : Muhammad Yusuf Khan and Sons), 1988

Pack, David C., The Truth About Polygamy, http://www.thercg.rg

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunah, Jilid VI, (Bandung : PT Almaarif), 1983

Said, Busthami Musthofa, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhum Tajdid al-Din), (Bekasi : Wacanalazuardi Amanah), 1996

Tha’imah, Shabir, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami, (Beirut : ‘Alam al-Kutub), 1984

Coulson, Noel J, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk (Ed.), Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES), 1990

Suyuthi, Imam, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, (Beirut : Dar Amwaj), 1989

----------, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’, (Semarang : Usaha Keluarga), tanpa tahun

kaltengku

BEBERAPA PENGGAL TENTANG DAYAK
KALIMANTAN

By Citra Priski Abadi

ABSTRAK

Makalah ini menjelaskan kehidupan dayak Kalimantan secara terperinci dilihat dari beberapa aspek.Sejarah dayak,geografi dan perubahan kebudayaan dayak yang disebabkan oleh datangnya para imigran,dan perkembangan sektor ekonomi

1.PENDAHULUAN

Makalah ini merupakan hasil dari pengamatan di Kalimantan secara menyeluruh dan khususnya etnis Dayak. Suku Dayak sebenarnya adalah nama kolektif puluhan suku, sub suku dan sub-sub suku. Beberapa kategorisasi digunakan pada masyarakat Dayak, tetapi pada umumnya bisa disebutkan bahwa kelompok induk Dayak terdiri dari Ngaju–Ot Danum, Iban, Punan, Kenyah Kayan, Lun Dayeh dan Land Dayak sebagai kelompok utama di Kalimantan (Avé 1996 : 4). Menurut klasifikasi Mallinckrodt, yang sedikit berbeda dari yang disebut di atas, yakni ada enam suku induk Dayak utama. Kelompok pertama, Kenya – Kayan – Bahhau, yang pada umumnya mendiami daerah Kalimantan Timur. Kedua, suku Ot Danum mendiami Kalimantan Tengah. Ketiga, suku Iban tinggal di daerah Malaysia Timur, Sabah dan Kalimantan Timur. Keempat, kelompok Murut, yang pada umumnya di Malaysia Timur, bagian Sabah dan bagian utara Kalimantan Timur. Kelima, kelompok Klemantan, juga sering diklasifikasikan sebagai Dayak Darat yang tinggal di Kalimantan Barat dan keenam, kelompok Punan yang pada umumnya tinggal di pedalaman Kalimantan.
Dewasa ini khususnya dimana-mana kebudayaan di dunia berubah dengan cepat. Pada waktu dahulu hanya manusia yang masuk secara fisik dan membawa hal abstrak seperti ilmu, bahasa, filosofi, kepercayaan atau hal konkret seperti perhiasan, kain, senjata, makanan dan lain-lain, ke daerah tradisional, dapat mengubah kebudayaan. Berbeda dengan saat ini, orang tidak perlu sampai ke sana secara fisik. Transfer ilmu, tingkah laku manusia dan transfer sikap dari luar sebenarnya lebih mudah terjadi. Hal-hal baru bisa didengar dan ditonton melalui radio atau televisi. Pengaruh atau transfer hal tersebut dengan radio luar biasa, tetapi pengaruh televisi lebih luar biasa lagi.
Salah satu alasan menulis makalah tentang masyarakat Dayak adalah untuk mengetahui sifat-sifat kebudayaan tradisional yang masih dimiliki dan dilihat atau dialami secara intensif oleh generasi paruh baya dan generasi yang lebih tua, sebelum ilmu dan hidup mereka hanya bisa ditemui di perpustakaan saja.

2.PEMBAHASAN
SEJARAH, GEOGRAFI ,SOSIAL DAN EKONOMI
2.1 . SEJARAH
Suku Dayak dikatakan sebagai salah satu kelompok etnis tertua di Kalimantan. Menurut mitos,nenek moyang orang Dayak berasal dari Kalimantan. Catatan sejarah tentang orang Dayak sebelum tahun 1850 sebenarnya sangat nihil, dan orang Dayak sendiri hanya mempunyai sejarah lisan. Ada beberapa hipotesis dari para ahli, seperti dari Kern dan Bellwood yang menunjukkan bahwa orang pada zaman sekarang di Nusantara mungkin berasal dari Yunan, Tiongkok yang datang ke Nusantara secara bergelombang beberapa milenium sebelumnya. Pada tahun 1938 ditemukan tengkorak Homo Sapiens yang berumur sekitar 38.000 tahun di salah satu gua di Niah, yang terletak di pantai utara Sarawak. Tengkorak itu mirip tengkorak suku Dayak Punan pada zaman sekarang (Avé 1996 : 6).
Menurut Sellato (2002 : 128) aktivitas orang Dayak sebenarnya beradaptasi dengan lingkungannya dan juga tergantung sosialisasi dengan suku tetangganya. Dia berpendapat bahwa kelompok nomaden, hunter and gathers, yang tinggal di pelosok secara pindah-pindah, dan juga tinggal jauh dari kelompok lain mereka senantiasa berswadaya. Kelompok Dayak lain juga beradaptasi dengan lingkungannya tetapi mereka tidak berswadaya secara menyeluruh seperti kelompok yang disebut di atas. Ada juga kelompok ketiga, yang berasimilasi total dengan pendatang baru, mereka tetap bertani dan membudidayakan binatang-binatang tertentu dan mungkin juga mengadopsi bahasa dari imigran sekitarnya.
Bahasa Dayak menurut para ahli linguistik diklasifikasikan sebagai Malayo Polynesia dari keluarga bahasa Austronesia (www.ethnologue.com : 2004). Menurut hipotesis Adelaar, Borneo dilihat sebagai homeland, daerah asal, bahasa Malay(ic) (Adelaar 2004 : 4). Ada ahli bahasa lain yang berpendapat bahwa homeland bahasa Malayic berada sekitar 100 kilometer.
dari hulu sungai Sambas, tetapi pendapat itu harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena belum cukup data yang mendukung hipotesis itu, menurut Adelaar. Walaupun ada persamaan keluarga bahasa, namun tidak harus memiliki persamaan etnis. Belum cukup temuan arkeologis yang didapat untuk membuktikan asal usul orang Dayak. Hipotesis-hipotesis dan tulisan tersebut di atas hanya mengindikasikan bahwa suku Dayak sudah lama berada di Kalimantan.
Tampaknya sekitar abad ke-11 suku Melayu masuk (atau kembali) ke Sambas, Mempawah, Sangga, Sintang dan kemudian menyebar ke tempat lain. Menurut pendapat umum agama Islam menyebar ke Kalimantan sekitar abad ke-15. Ini menunjukkan bahwa Islam masuk setelah orang Melayu dan Jawa membawa unsur-unsur agama Hindu dan budaya dari zaman Sriwijaya dan juga dari zaman Majapahit ke Kalimantan. Salah satu Kerajaan Hindu tertua di Kutai didirikan sekitar abad keempat, tepatnya di Kalimantan Utara. Disebutkan bahwa di candi Borobudur ada gambar laki-laki dengan telinga panjang yang sepertinya menggunakan sumpit yang panjang. Relief ini mungkin melukiskan orang Dayak (Avé 1986 : 13). Menurut Kühr (1995 : 53) dewa-dewi orang Dayak yang tinggal di pinggir sungai Kapuas, sebenarnya diberi nama dewa-dewi Hindu-Jawa yang didayakkan seperti; Petara (Batara), Jubata (Déwata) dan Sengiaug (Sang Hyang).
Di samping back migration (merantau kembali) orang Melayu, bangsa Tionghoa berlayar ke pantai Asia Timur pada abad ketiga untuk perdagangan dan kembalinya melalui Kalimantan dan Filipina dengan memanfaatkan angin musim. Bangsa Tionghoa adalah kelompok etnis yang cukup penting dalam sejarah Kalimantan, sehingga sejarah mereka penting disorot.
Sekitar abad ketujuh orang Tionghoa mulai menetap di Kalimantan tetapi mereka tetap bercorak Cina dan hubungan dengan negeri leluhur mereka selalu dipelihara. Pada tahun 1292 pasukan Kubilai Khan dalam perjalanannya untuk menghukum raja Kertanegara dari Majapahit di Jawa singgah di pulau Karimata yang terletak tidak terlalu jauh dari Pontianak.
Kawasan tersebut termasuk jaringan lalu lintas rute pelayaran dari daratan Asia ke Asia selatan. Pasukan Tar-tar dari Jawa menderita kekalahan total dalam pertempuran dengan pasukan Kubilai Khan. Ada kemungkinan bahwa sebagian besar pasukannya lari dan menetap di Kalimantan karena mereka takut dihukum oleh pejabat Kubilai Khan yang masih ada di Jawa.
Agama Islam di Kalimantan juga ikut disebarkan oleh orang Tionghoa. Pada tahun 1407 berdiri perkumpulan masyarakat Tionghoa Hanafi yang menganut Islam di Sambas. Laksamana Cheng Ho seorang Hui adalah penganut Islam dari Yunan yang atas perintah Cheng Tsu dan anak buahnya masuk untuk menguasai daerah tersebut. Dia menetap di sana dan menikah dengan penduduk setempat, serta menyebarkan agama Islam kepada penduduk lokal.
Pada tahun 1609 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang aktif dari tahun 1602-1799 menjalin peniagaan dengan kerajaan Sambas, yang pada waktu itu masih di bawah kedaulatan kerajaan Johor. Dalam waktu yang relatif pendek perselisihan terjadi dan beberapa orang Belanda dibunuh oleh masyarakat Sambas. Pada tahun 1612 tindakan pembalasan oleh VOC terjadi, sebuah kampung di Sambas juga dibakar.
Pada abad ke-17 sudah ada dua rute laut dari Cina melalui Indo-Cina ke Nusantara. Pertama yang terus ke Malaya dan pantai Sumatra Timur lalu ke Bangka-Belitung serta pantai Kalbar, terutama Sambas dan Mempawah. Rute laut kedua melalui Borneo Utara terus ke Sambas dan pedalaman Sambas dan Mempawah Hulu.
Pada tahun 1745 gelombang besar masyarakat Tionghoa datang dengan persetujuan Sultan Sambas untuk membuka tambang-tambang emas. Pada waktu itu sepertujuh produksi emas dunia diperkirakan berasal dari Kalbar. Orang Tionghoa membentuk kongsi di Montrado dan di Mandor, kongsi itu semakin lama semakin kuat. Perkongsian itu menetap di daerah tersebut dan wajib membayar upeti kepada sultan Melayu. Pembayaran itu mengakibatkan sultan memberi izin kepada orang Tionghoa untuk mengatur daerah sendiri, seperti urusan pemerintahan lokal dan punya pengadilan sendiri. Orang Dayak yang tidak merasa cocok dengan kekuatan orang Tionghoa berpindah ke luar daerah kekuasaan kongsi tersebut.
Gelombang perantau baru dari Tiongkok masuk karena hidup di Kalimantan aman dan ada cukup kesempatan untuk mencari emas, intan, perak dan juga karena tanahnya cukup subur. Pada tahun 1777, orang Tionghoa dari suku Tio Ciu dan suku Khe yang mencari emas di Mandor dan Montrado mendirikan Republik Lan Fong di Mandor, enam tahun setelah kota Pontianak didirikan. Pada umumnya hanya laki-laki Tionghoa yang merantau, ini dikarenakan mereka cepat berbaur dan bisa memperistri wanita Dayak atau Melayu. Kelompok Tionghoa cepat berkembang sehingga jumlah mereka mencapai 30.000 jiwa. Pada waktu itu, setelah mereka berkembang mereka berani melawan pemerintahan sultan. Beberapa pertempuran terjadi antara kongsi-kongsi dan pangeran dari Sambas.
Pada tahun 1818 bendera Belanda dikibarkan di Sambas dan atas alasan perjanjian Belanda dengan Sultan, kepala-kepala Tionghoa sebenarnya berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah beberapa pertempuran berat terjadi, kekuasaan kongsi-kongsi Tionghoa dibubarkan di seluruh daerah Kalimantan Barat dan Republik Lan Fong Mandor yang berkuasa selama 107 tahun dan Republik Montrado yang berkuasa selama 100 tahun diakhiri (Lontaan 1975 : 256).
Sekitar 18 bulan setelah G30S meletus di Jawa, yang menyebabkan Soeharto menjadi pemimpin Indonesia, orang Dayak mengusir sekitar 45.000 jiwa Tionghoa dari pelosok dan membunuh ratusan jiwa Tionghoa, sebagai aksi politik untuk mengimbangi masalah pada zaman dahulu (Schwarz 2004 : 21). Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial mempengaruhi kehidupan orang Dayak, dan juga bahwa sejarah orang Tionghoa, Melayu dan Dayak sangat terjalin.
Apa yang sudah disebutkan di atas, orang Melayu masuk dari Sumatra dan dari Semenanjung Malaka sekitar abad ke-11 atau ke-12 dan berbaur dengan orang Dayak. Pada umumnya mereka mendiami daerah pinggir laut dan menjadi perantara orang luar dan orang Dayak yang ingin menukar atau menjual hasil hutan. Orang Melayu juga berbaur dengan keturunan orang Jawa yang sudah masuk sebelumnya. Seorang Ratu dari keturunan Hindu Majapahit yang memerintah daerah Sambas pindah ke agama Islam untuk memudahkan perniagaan dan mengembangkan hubungan baik dengan Johor dan Brunei yang sudah masuk Islam. Dewasa ini istilah Melayu digunakan sebagai kontras Dayak dengan Melayu. Istilah Melayu tidak digunakan sebagai referensi etnis tetapi sebagai referensi Islam kontras non-Islam. Peningkatan jumlah besar orang Melayu di Kalimantan disebabkan oleh orang asli atau Dayak yang memeluk Islam dan bukan karena jumlah besar orang Melayu yang merantau ke Kalimantan. Orang Dayak yang memeluk Islam tidak berarti bahwa mereka selalu memeluk secara penuh tetapi mungkin hanya secara nominal.
Pada zaman dahulu, orang Dayak yang tidak mau dikuasai oleh suku lain terdesak dari pantai ke pedalaman Kalbar. Tergantung kekuatan suku Dayak tertentu, mereka membayar upeti atau tidak. Upeti dibayar dalam bentuk hasil hutan kepada sultan yang dibawa dengan sampan oleh pedagang Melayu ke hilir, ke pusat perdagangan di pinggir laut. Ada juga suku Dayak yang bertahan yang disebut “Dayak merdeka” dan mereka tidak dikuasai langsung oleh kerajaan Melayu pada zaman dahulu.
Aktivitas perniagaan menyebabkan aspek baru muncul seperti pembayaran dengan uang atau membayar dengan kredit atau pinjaman dengan jaminan. Institusi sejenis “budak hutang” (pandeling) muncul sebagai jaminan diri sendiri terhadap hutang yang ada, setelah mendapat barang perniagaan tanpa menukar dengan duit atau barang hasil hutan (Mallinckrodt 1928 :136). Selama “budak hutang” tidak mengembalikan hutangnya atau tidak mampu melunasi, dia dipaksa kerja untuk orang yang memberi pinjaman atau kreditor. Pada tahun 1892 secara resmi diundangkan penghapusan sistem perbudakan (King 1978 : 27).
2.2. GEOGRAFI, TOPOGRAFI, FLORA dan FAUNA
Antara daratan Asia dan Australia terletak Nusa Tenggara Indonesia termasuk pulau Borneo yang oleh orang Indonesia dinamakan Kalimantan. Nama Borneo mungkin berasal dari nama Brunei dan sering digunakan untuk menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan mungkin berasal dari keadaan pulau yang punya banyak kali, banyak mas, dan banyak intan, sehingga menjadi Kalimantan. Menurut beberapa pihak lain mungkin nama Kalimantan berasal dari nama Lamanta. Lamanta adalah sagu dari pohon yang baru ditebang, yang masih mentah. Pada umumnya nama Kalimantan digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah pemerintahan Indonesia dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bagian di bawah pemerintahan Malaysia.
Daratan Borneo sekitar 750.000 kilometer persegi atau sekitar enam kali lipat daratan Jawa atau lebih besar jika digabung Jerman, Polandia, Belanda dan Belgia.Pedalaman Borneo adalah pegunungan dengan ketinggian sekitar 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi adalah Kinabalu di West Malaysia dengan tinggi 4175 meter. Kebanyakan sungai besar mengalir dari tengah pulau ke laut dan merupakan sarana penting untuk menghubungkan masyarakat hulu sungai dengan masyarakat di pinggir laut. Ke arah selatan ada sungai Barito dan sungai Kahayan yang bermuara di Banjarmasin. Ke arah barat ada sungai terpanjang bernama Kapuas yang bermuara di Pontianak, yang terletak di garis kathulistiwa. Sungai Rejang bermuara di Sarawak. Di bagian timur pulau Kalimantan ada sungai Kayan dan Mahakam yang mengalir ke kota Samarinda. Pantai Kalimantan merupakan daratan yang sangat rendah dengan tumbuhan bakau (mangrove).
Daerah Borneo yang menjadi bagian teritorial Indonesia di bagi atas empat propinsi:
Kalimantan Barat (Kalbar) dengan luas daratan 146.760 kilometer persegi dan jumlah penduduk yang pertumbuhannya 2,6 juta pada tahun 1980 menjadi 4 juta pada tahun 2004 dengan ibu kota Pontianak.
Kalimantan Tengah (Kalteng), luasnya 152.600 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 1 juta pada tahun 1980 dengan ibu kota Palangka Raya.
Kalimantan Selatan (Kalsel), luasnya 37.660 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 2,3 juta pada tahun 1980, dengan ibu kota Banjarmasin.
Kalimantan Timur (Kaltim), luasnya 202.440 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 1,3 juta pada tahun 1980, dengan ibu kota Samarinda.
Adapun bagian teritorial Malaysia terdiri dari dua negara bagian:
Sarawak, luasnya 124.449 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 1,2 juta pada tahun 1980 dengan ibu kota Kuching.
Sabah, luasnya 73.700 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 0,8 juta pada tahun 1980 dengan ibu kota Kota Kinabalu.
Bagian teritorial dengan kedaulatan sendiri adalah Brunei, luasnya 5.765 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 0,2 juta pada tahun 1980 dengan ibu kota Bandar Seri Begawan.
Garis Kathulistiwa membelah Kalimantan dari Pontianak di sebelah barat sampai ke pantai timur sedikit ke utara dari Samarinda. Hujan di daerah tropis sangat tinggi dengan rata-rata 2500 mm per tahun di selatan-tenggara dan bagian daratan pantai timur. Rata-rata hujan turun sampai 4500 mm per tahun di pedalaman. Suhu rata-rata dari 25ºC sampai 35ºC yang menunjukkan kelembaban tinggi dan menyebabkan banyak tantangan bagi penduduk yang mempersulit pemeliharaan prasarana buatan, seperti jalan, jembatan dan perumahan. Musim hujan lebat yang panjang rata-rata 8 bulan, dari bulan Oktober sampai Mei, dan dari bulan Juni sampai September hujan tidak terlalu lebat. Untuk membangun jalan atau jembatan yang tahan lama perlu keahlian teknik tinggi dan bahan konstruksi yang sesuai dengan kondisi yang sangat korosif.
Hujan lebat juga menyebabkan tanah bekas konsesi PT kayu pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang meninggalkan tanah gundul tanpa pohon sehingga lapisan humus yang sangat tipis cepat hanyut ke sungai dan laut. Pada umumnya tanah tropis yang terdiri dari tanah liat yang tandus dan cenderung asam yang tidak berkapasitas untuk menyimpan banyak bahan gizi, hanya nutrisi lapisan humus yang tipis berguna untuk tumbuhnya hutan lebat dengan jenis pohon Dipterpcarpaceae.
Salah satu jenis kayu kelas satu adalah ulin (Eusideroxylon zwageri), juga dikenal sebagai kayu belian atau kayu besi yang sangat bernilai sebab tahan rayap dan tidak membusuk di tempat yang basah. Meranti, Keruing dan Ramin adalah nama jenis kayu yang terkenal dari keluarga pohon Dipterpcarpaceae, yang berguna sebagai bahan bangunan rumah dan mebel. Di samping kayu juga ada beberapa jenis getah, lateks dan rotan yang dihasilkan, dan buah seperti durian (Durio zibethines) dan buah-buah jenis Artocarpus (nangka dan cempedak). Diversitas flora sangat tinggi, sekitar 5000 spesies pohon sebagian besar dari keluarga pohon Dipterpcarpaceae.
Kalimantan adalah pulau yang dibelah sungai-sungai yang terdapat kelompok ikan yang menjadi pusat hidup manusia dan fauna. Di samping binatang buruan di hutan, sungai juga merupakan sumber makanan besar bagi masyarakat Dayak, seperti ikan, keong dan siput. Pada waktu musim hujan sungai meluap. Pada musim kemarau permukaan air sungai turun yang mengakibatkan kapal sungai tidak selalu bisa dilayari. Keadaan itu mengganggu lalu lintas air sebagai salah satu jalur transportasi terpenting bagi masyarakat hulu sungai. Dari gunung Bawang dan gunung Raya yang letaknya di Kabupaten Bengkayang, ada lima sungai yang mengalir di daerah tradisional orang Kanayatan, seperti; sungai Ledo dan sungai Teriak yang bermuara di Sambas, sungai Menyukee, Mempawah dan Selako yang mengalir ke Landak.
Kalimantan juga memiliki beragam jenis burung. Salah satu burung terkenal adalah Enggang Geding (Rhinoplax Vigil) yang menjadi maskot Kalimantan Barat. Di Kalimantan ada banyak burung yang ditangkap dan ada banyak burung yang dianggap suci. Pada zaman dahulu binatang tersebut tinggal dimana-mana tetapi setelah eksploitasi hutan, burung-burung tersebut, orang-utan dan jenis kera lain cenderung bertahan hidup di taman nasional saja. Salah satu binatang yang terpenting sebagai sumber protein hewani adalah babi hutan (Sus vitatur). Selain itu juga ada rusa (Cervus equimus), dan kijang (Cervulus muntjac) yang ditangkap, akan tetapi jarang karena sekarang tidak ada banyak. Ada juga beberapa macam kera dan binatang lain yang diburu di hutan. Di sekitar gunung Seles ada sejenis beruang yang langka dan hanya terdapat di Kalimantan.
2.3 KEADAAN SOSIAL DAN EKONOMI
Kita harus mengetahui bahwa dewasa ini bahasa dan latar belakang etnis Dayak tidak selalu mengikuti wilayah yang sama. Kadang-kadang kelompok terpisah dari sub suku yang pindah ke daerah lain, karena kesempatan ekonomi atau alasan lain. Masyarakat itu membawa bahasa dan kebudayaan sendiri. Bahasa mungkin berubah sedikit, tetapi budaya dapat berubah dengan cepat sesuai dengan lingkungannya. Misalnya, ada informan yang mengatakan, bahwa ada kelompok orang Iban yang baru pindah pada waktu Perang Dunia Kedua dari Sarawak ke Kalimantan Barat (Kalbar). Alasan mereka pindah karena hidup di Sarawak terlalu berat dibandingkan dengan hidup di Kalbar khususnya pada waktu Jepang menduduki Borneo. Setelah perang selesai, kelompok Iban tidak kembali ke tempat asalnya. Kelompok utama yang bukan etnis Dayak yang tinggal di Kalbar adalah kelompok etnis Melayu, Tionghoa, Jawa, Bugis, dan Madura.
Pada beberapa dekade terakhir sering ada masalah lingkungan dan masalah etnis di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat yang mendapat perhatian dari media. Banyak terjadi perubahan lingkungan alam secara fisik, tidak hanya disebabkan oleh masalah internal tetapi juga masalah yang berkaitan dengan kondisi kekurangan tanah dan permintaan bahan mentah dari luar Kalimantan. Walaupun kebijaksanaan pada waktu lalu mungkin cukup mantap, sehingga pemerintah mengeluarkan izin kepada perusahaan kayu untuk menebang pohon-pohon, tetapi kebijaksanaan pemerintah belum memperhatikan rencana perusahaan kayu untuk rehabilitasi tanah pada masa yang akan datang. Sekarang, short term thinking pada waktu itumengakibatkan erosi tanah, sehingga tidak subur lagi dan merugikan kesempatan pada generasi muda di Kalimantan.
Hal itu sangat berbeda dari kebijaksanaan petani tradisional yang membuka ladang secara berpindah-pindah. Setiap keluarga Dayak hanya membuka hutan seluas satu atau dua hektar saja, sehingga keseimbangan ekosistem hutan tidak rusak. Abu dari pembakaran hutan menjadi pupuk alami yang mengakibatkan hasil ladang cukup dan lingkungan pertanian kembali subur untuk manusia bertahan hidup di lingkungannya. Sesudah panen padi atau jagung tanahnya bisa dikembalikan menjadi hutan lagi dalam beberapa waktu. Seandainya bekas ladang sudah menjadi hutan dengan pohon yang sudah cukup tinggi, hutan itu bisa dibuka kembali untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat.
Tanaman padi menjadi salah satu faktor esensial pada suku Dayak dalam mewujudkan kebudayaan dan lingkungan hidupnya. Tanaman padi adalah inti dari budaya, pola pikiran dan kosmologi mereka karena keseluruhan hidup berkaitan dengan siklus padi. Seorang informan menyatakan bahwa kalau butiran padi tidak ditanam lagi maka tradisi Dayak bisa terancam punah. Petani ladang gunung atau petani sawah sebenarnya sangat cakap dalam menanam dan memilih bibit padi yang cocok dengan lokasinya. Semua desa memiliki puluhan jenis bibit padi, yaitu beras biasa dan beras ketan, yang ditanam di sawah atau di ladang. Tiap jenis padi mempunyai sifat yang unik, antara lain, tahan hama atau resistensi terhadap serangga, tahan kekeringan, menyesuaikan dengan kondisi kesuburan dan konsistensi tipe tanah. Sifat nasi juga berbeda, ada yang keras ada yang lembut, ada yang aroma wangi dan tidak beraroma.
Di samping suku Dayak, sudah sejak lama ada masyarakat dari luar dengan latar belakang etnis yang berbeda yang masuk Kalimantan. Mereka meningkatkan persaingan dalam mencari nafkah, menggali hasil bumi, seperti emas dan intan, membuka ladang pertanian atau melakukan perniagaan.
Kerusuhan etnis Madura-Dayak yang muncul beberapa tahun lalu, digambarkan secara grafis oleh media. Berita itu mengisi halaman pertama selama beberapa hari di media dunia. Sayangnya berita itu tidak merincikan alasan yang tepat, apa yang menyebabkan tindakan kekerasan dari kedua belah pihak. Dalam berbagai media, latar belakang tindakan tersebut tidak dijelaskan sepenuhnya, hanya pada penderitaan fisik yang mendapat sorotan. Sampai sekarang masalah kerusuhan dan masalah pengungsi yang muncul belum dapat terpecahkan. Bagi masyarakat Madura yang tidak langsung mengungsi ke Jawa atau Madura dikumpulkan untuk sementara di kamp-kamp pengungsi sekitar Pontianak. Baru-baru ini ada rencana untuk membuka daerah bagian selatan dari Pontianak yang letaknya di pinggir laut sebagai daerah transmigrasi baru, yang mudah-mudahan tidak akan menyebabkan masalah keamanan bagi semua pihak pada masa depan.
Tekanan dari luar untuk memenuhi kebutuhan hidup dewasa ini lebih intrusif lagi. Pertama karena tekanan ekonomis memaksa eksplorasi kekayaan sumber daya alam dengan mengonversi yang tumbuh di atas bumi misalnya, kayu hutan hujan menjadi bahan baku pada pabrik plywood serta kilang gergaji. Hutan dan tanah dusun juga dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Kedua, kekayaan dari perut bumi, yakni mineral-mineral digali dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk permintaan pasar dunia. Itu menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat pasca tradisional lebih diprioritaskan dibandingkan kebutuhan masyarakat pra modern. Bahan mentah sebenarnya terletak di “Lebensraum” kelompok tradisional. Sejak lama Kalimantan dilihat sebagai sumber alam yang tidak ada habis-habisnya, padahal sumber itu sebenarnya terbatas.
Permintaan kayu pasar dunia masih kuat, sementara produksi kayu bulat turun karena sulit memperpanjang izin atau menebang pohon secara ilegal. Pada waktu melakukan perjalanan salah seorang penumpang yang bekerja di pabrik kayu plywood memkonfirmasikan keadaan di Kalbar bahwa keperluan bahan mentah pabrik yang memproduksi plywood kurang cukup. Untuk mengatasi masalah bahan baku di Kalimantan ada kayu bulat yang masuk dari Papua. Penebangan pohon untuk kebutuhan komersial tidak terjadi di seluruh daerah Kalimantan. Di lokasi studi lapangan kebanyakan kayunya ditebang untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya sendiri. Di tempat studi lapangan yang terakhir di Kalimantan Barat, di desa Paham ada beberapa orang Dayak yang menebang kayu untuk permintaan pasar lokal. Mereka adalah kelompok penebang kayu yang masuk hutan memakai sepeda ontel yang rangkanya diperkuat lagi dengan menggunakan kayu supaya bisa mengangkat beban kayu yang berat. Mereka pulang dari hutan dengan membawa papan kayu ke desanya pada waktu sore.
3.PENUTUP
Keutuhan atau berubahnya suatu budaya tidak luput dari faktor internal budaya itu sendiri dan faktor eksternal dari budaya lain.
Kehidupan dayak Kalimantan saat ini sangat heterogen karena dipengaruhi oleh beberapa aspek kehidupan dari beberapa segi baik dari segi sejarah,geografis,ekonomi,perkembangan teknologi informasi dan datangnya para imigran dari luar Kalimantan.Hal ini yang membuat perubahan yang sangat besar di wilayah Kalimantan yang apabila tidak ditanggapi secara positif akan berakibat buruk terhadap keutuhan kebudayaan Kalimantan dan tidak solosi yang baik dalam masyarakat ketika terjadi konflik antar suku.
Oleh karena itu sangat mengharapkan adanya makalah ini menjadi inspirasi kepada kita semua untuk menjaga keutuhan budaya tanpa menjahui kebudayaan lain dan juga tidak terjadinya konflik sosial yang meresahkan kehidupan rakyat Kalimantan dan para imigran yang mencari nafkah di Kalimantan.

DAFTAR PUSTAKA
Andaya, L. Y. 2001, The Search for the 'Origins' of Melayu in Journal of Southeast Asian Studies, Oct p315 Singapore University Press, Singapore

Cassirer, C. 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah esei tentang manusia, PT Gramedia, Jakarta

Drs.Wahyu.MS.1986,Wawasan Ilmu Sosial Dasar,Penerbit Usaha Nasional,Jl.Praban No.55,Surabaya

Koentjaraningrat.1990, Sejarah Teori Antropologi I, Universitas Indonesia, Jakarta
______________.1990, Sejarah Teori Antropologi II, Universitas Indonesia, Jakarta

Lontaan J. U 1975, Sejarah – Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pemda Tigkat I Kalbar, Jakarta

Petebang, E. 2000, Kedaulatan Masyarakat Adat yang Teraniaya, Penerbit Lembaga Belabanua Talino, Pontianak

Prof.Abdulkadir,Muhammad,S.H,2005,Ilmu Sosial Budaya Dasar,Penerbit PT.Citra Aditya Bakti,Jl.Geusan Ulun,No.17,Bandung

Rousseau, J. 1990, Central Borneo, Clarendon Press, Oxford

Radcliff-Brown, A.R. 1980 , Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Weintré, J. J. 2001, Krisis Ekonomi Masyarakat Indonesia pada Lapisan Bawah, Studi Lapangan Universitas Muhammadiyah dan ACICS, Malang
___________. 2003, Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia:, Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra, Pusat Studi Kebudayaan UGM